Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) mulai diberlakukan secara nasional sejak tahun 2019. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mendorong pemerataan https://www.makobrewworldcoffeebar.com/restaurant/ akses pendidikan, mengurangi diskriminasi antar sekolah, serta menghapus stigma “sekolah favorit”. Namun, implementasi sistem zonasi juga menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif, terhadap mutu pendidikan di tingkat SMA.
Salah satu dampak positif sistem zonasi adalah meningkatnya kesempatan belajar yang lebih merata bagi siswa dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Sebelum adanya zonasi, banyak sekolah unggulan yang hanya dapat diakses oleh siswa dengan nilai tinggi atau kemampuan finansial yang cukup. Akibatnya, sekolah lain kekurangan siswa berbakat dan minim perhatian. Dengan sistem zonasi, siswa harus mendaftar ke sekolah yang berada dalam radius tertentu dari tempat tinggal mereka. Hal ini mendorong distribusi siswa yang lebih seimbang dan menciptakan potensi peningkatan kualitas secara merata di semua sekolah.
Namun di sisi lain, sistem zonasi juga membawa tantangan terhadap kualitas pendidikan, terutama di daerah yang infrastrukturnya belum merata. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas dan sumber daya manusia yang setara. Siswa dengan potensi akademik tinggi yang dulunya bisa memilih sekolah unggulan, kini terbatas pada sekolah di zonanya yang mungkin belum siap memberikan layanan pendidikan optimal. Ini berpotensi menghambat pengembangan prestasi siswa.
Selain itu, banyak keluhan datang dari orang tua dan masyarakat terkait ketimpangan kualitas antarsekolah dalam satu zona. Beberapa sekolah masih kekurangan guru berkualitas, laboratorium yang memadai, atau akses terhadap kegiatan ekstrakurikuler yang membangun karakter. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sistem zonasi justru bisa menurunkan semangat belajar siswa berprestasi karena keterbatasan lingkungan belajar yang mendukung.
Sistem zonasi juga memunculkan dampak sosial berupa meningkatnya praktik manipulasi data kependudukan. Beberapa orang tua rela memindahkan alamat domisili secara administratif agar anaknya bisa masuk ke sekolah yang dianggap lebih baik di dalam zona. Hal ini tidak hanya membebani sistem administrasi, tetapi juga menciptakan ketidakadilan dalam penerimaan siswa.
Meski demikian, jika dijalankan secara konsisten dan dibarengi dengan pemerataan fasilitas serta peningkatan kompetensi guru, sistem zonasi berpotensi menjadi instrumen perubahan besar dalam sistem pendidikan nasional. Pemerintah perlu melakukan pengawasan dan evaluasi rutin serta memberikan afirmasi kepada sekolah yang masih tertinggal agar tidak terjadi kesenjangan.
Pemerataan kualitas pendidikan harus menjadi fokus utama dalam pelaksanaan sistem zonasi. Perlu kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, sekolah, serta masyarakat untuk memastikan bahwa setiap anak mendapatkan hak pendidikan yang layak, tidak tergantung pada di mana mereka tinggal. Pendidikan adalah hak semua warga negara, dan sistem zonasi seharusnya menjadi jembatan untuk mencapai keadilan dalam pendidikan, bukan malah menciptakan masalah baru.